Kisah Mentimun Pak Hadi
Kembali lagi tentang mengejar Impian,
dahulu kala dikala aku masih duduk di bangku SD aku Bersama kawan kawanku lebih
tepatnya adalah saudara anak dari paman dan budeku. Lagi asyik asyiknya main di
Tengah sawah, jaman itu orang memanggilnya ‘pundung’, pundung adalah semacam
bukit yang sengaja dibuat di Tengah sawah dengan maksud sebagai tempat istirahat
si pemilik sawah untuk berteduh ataupun menanam tanaman ubi2 an atau tanaman yang
tidak membutuhkan banyak air. Waktu itu di pundung ada tanaman munggur yang
sudah lebat, batangnya besar banyak cabang-cabangya, kamipun menaiki pohon itu
satu persatu lalu duduk di atas pohon sambil berceloteh kesana kemari, ditemani
terpaan semilir angin dan juga kicauan burung pipit. Kami membicarakan tentang
masa depan kami nanti, berandai andai kalo sudah besar mau kemana dan mau jadi
apa, oh ya…aku sampai lupa memperkenalkan kawan-kawanku ini, ada Sahid dan
Pendi.
Sahid dan Pendi ini dia seumuran
berada 2 tingkat lebih tua usianya dibandingkan dengan diriku. Aku memanggil mereka
dengan pangilan Mas Sahid dan Mas Pendi. Aku kalo sudah besar pengen kuliah di
semarang, pengen dekat dengan ibuku, jadi ga perlu sedih lagi kalau di tinggal
ibu bekerja, celotehku.
Kemudian mas sahid pun berceloteh,
aku kalau sudah besar pengen ke Jakarta,
ikut kakakku bekerja disana, Jakarta itu kota besar, kota metropolitan pasti
banyak uangnya kalo kerja disana. Mas pendi pun tak mau kalah, kalau aku
dirumah saja,pol-polnya ya mau ke jogja atau gunung kidul untuk bekerja, karena
dekat dengan rumah dan di gunung kidul pemandanganya Indah-indah, aku pengen punya
bengkel motor dan usaha di rumah. Waktu itu adalah musim kemarau dan para
petani baru selesai memanen padi lantas sawah ditanami Kembali dengan tanaman
palawija seperti kedelei, kacang hijau ataupun jagung. Namun ada juga yang menanam
mentimun, melon dan semangka. Pernah pada suatu Ketika kita bertiga habis selesai
membantu menanam kedelai atau istilahnya di kampung “ulur dele” kita melewati
salah satu sawah milik orang dan disana masih ada sisa tanaman mentimun, lantas
karena sisa kami piker kalau ini mentimun kita ambilpun yang punya tidak
bakalan marah, toh ini sisa, mungkin kualitasnya tidak bagus atau memang
sengaja sang pemilik sawahnya ingin memberikan kepada hewan-hewan yang mencari
makan di sawahnya. Lantas kami bertigapun tanpa banyak berceloteh langsung memetik
satu dua tingga sampai baju kami tidak muat lagi untuk menampungnya, jadi kami
membawa di baju masing masing semuatnya dengan tetap mengenakan baju dan mentimun
hasil memetik milik orang tadi kami taruh di baju depan. Kamipun bergegas
berjalan pulang kerumah karena hari sudah menjelang malam, matahari sudah tenggelam
di ufuk barat dengan Cahaya remang-remang kejinggaan.
Sesampainya di rumah kami sontak
melepaskan barang bawaan kami dan menjadikannya satu di teras rumah nenek, nenek
waktu itu lagi berada di dapur sedang mempersiapkan makan malam untuk kami dan
setelah kami beristirahat sebentar di teras rumah nenek, tiba-tiba nenek keluar
dari pintu dan melihat kami duduk bertiga selonjoran, selonjoran adalah duduk
degan kedua kaki diluruskan kedepan dari muali pantat sampai tumit menyentuh
lantai. Nenek pun tiba-tiba memarahi kami dan sontak memecah belah
mentimun-mentimun yang kita kumpulkan tadi, nenek patahkan dan hancurkan satu
persatu hingga tak bersisa lagi. Kamipun dengan wajah ketakukan sambil bertanya-tanya
dalam hati kenapa nenek melakukan ini semua, sebelumnya nenek bertanya ini mentimun
darimana, mas sahid pun menjawab kalau ini mentimum kami mengambilnya dari sisa
panenan sawah di sebelah utara len, len adalah jalan kecil diantara deretan
sawah yang bisa diakses dengan menggunakan sepeda motor ataupun gerobak, len
ini bisa muat 2 gerobak dan motor pada saat bebarengan melintas. Mendengar mas
sahid berkata seperti itu nenek langsung bilang, itu sawah milik pak Hadi, dia
punya pesugihan, sembarangan aja kalian mengambil, lagian kenapa ga ijin dulu sama
yang punya sawah, kamipun menjelaskan kalau itu juga hanya mentimun sisa bekas
panenan. Nenek tidak menggubrisnya mau itu sisa panenan atau bukan, itu tetap
sawah pak Hadi yang sudah terkenal di desa kami kalau beliau memelihara
pesugihan, nenek takut kalau nanti kami bertiga dijadikan tumbalnya lewat
mentimun itu.s
Komentar
Posting Komentar